VICTORY NEWS MANGGARAI BARAT- Meskipun aktivitas melaut kembali normal, nelayan di wilayah pesisir Kabupaten Manggarai Barat, NTT
mengeluh sulitnya mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, khususnya solar.
Hal ini membuat nelayan enggan untuk melaut mencari ikan. Pendistribusian BBM bersubsidi melalui Agen Premium Minyak Solar (APMS) yang sejatinya untuk memenuhi kebutuhan nelayan, justru tidak tersalurkan dengan tepat sasaran.
Nelayan Pulau Komodo, Kecamatan Komodo, Akbar Iradat, Jumat (21/10/2022) menilai, pendistribusian BBM bersubsidi yang tidak merata. Bahkan dirinya menduga, kurangnya pengawasan dari pihak terkait membuat pendistribusian solar bagi nelayan belum tertib.
Baca Juga: Cuaca Buruk, Nelayan di Kecamatan Komodo Diingatkan Keselamatan
“Kami menyarankan kepada instansi terakit untuk melakukan pengawasan, tetapi belum ada tindakan nyata di lapangan. Agen BBM yang juga melayani nelayan untuk mendapatkan solar, namun kondisinya juga hampir sama yaitu stok selalu habis duluan sebelum nelayan membeli,” terangnya.
Ketua DPRD Manggarai Barat, Marthen Mitar menilai, nelayan masih kesulitan mengakses BBM bersubsidi. Hal inilah menjadi salah satu penyebab kesejahteraan para nelayan masih rendah.
"Salah satu kesulitan utama yang dihadapi nelayan adalah kesulitan akses BBM subsidi,” katanya.
Ia menjelaskan, sekitar 60% biaya kebutuhan melaut nelayan adalah untuk membeli BBM. Selain itu, para nelayan juga masih mengalami kesulitan mengakses administrasi kenelayanan, mengakses pasar dan pembiayaan serta terkendala perubahan iklim.
Baca Juga: Berlibur ke Labuan Bajo, Yuk Kunjungi Wisata Alternatif Eksotis ini
Marthen Mitar menyoroti potensi kelautan dan perikanan di Kabupaten Manggarai Barat yang sangat besar justru tidak seimbang dengan kesejahteraan para nelayannya. Bahkan, penghasilan nelayan cenderung fluktuatif, tidak pasti dengan pola kerja yang berisiko tinggi.
"Potensi kelautan dan perikanan yang besar sangat disayangkan masih belum diimbangi dengan kesejahteraan nelayan. Penghasilan nelayan cenderung fluktuatif, tidak pasti dengan pola kerja yang berisiko tinggi,” kata Marthen Mitar.***